Senin, 31 Oktober 2016

Sindroma Nefrotik

I.       PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis yang ditandai dengan proteinuria masif (≥ 3 – 3,5 g/hari atau rasio protein kreatinin pada urin sewaktu > 300-350 mg/mmol), hipoalbuminemia (<25 g="" hiperkolesterolemia="" kolesterol="" l="" total=""> 10 mmol/L), dan manifestasi klinis edema periferal. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. 

SN dapat terjadi pada semua usia, dengan perbandingan pria dan wanita 1:1 pada orang dewasa. SN terbagi menjadi SN primer yang tidak diketahui kausanya dan SN sekunder yang dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit sistemik, metabolik, obat-obatan, dan lain-lain.

Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN.Hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN.Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali pada sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respon yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lagi dapat berkembang menjadi kronik.

II.       ETIOLOGI

Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik.

Klasifikasi dan penyebab sindrom nefrotik didasarkan pada penyebab primer ( gangguan glomerular karena umur), dan sekunder (penyebab sindrome nefrotik).

a.   Penyebab Primer
Umumnya tidak diketahui kausnya dan terdiri atas sindrome nefrotik idiopatik (SNI) atau yang sering disebut juga SN primer yang bila berdasarkan gambaran dari histopatologinya, dapat terbagi menjadi ;
1.   Sindroma nefrotik kelainan minimal
2.   Nefropati membranosa
3.   Glomerulonephritis proliferative membranosa
4.   Glomerulonephritis stadium lanjut 
b. Penyebab Sekunder
a.   Infeksi : malaria, hepatitis B dan C, GNA pasc infeksi, HIV, sifilis, TB, lepra, skistosoma
b.   Keganasan : leukemia, Hodgkin’s disease, adenokarsinoma :paru, payudara, colon, myeloma multiple, karsinoma ginjal
c.   Jaringan penghubung : SLE, artritis rheumatoid, MCTD (mixed connective tissue disease)
d.   Metabolik : Diabetes militus, amylodosis
e.   Efek obat dan toksin : OAINS, preparat emas, penisilinami, probenesid, kaptopril, heroin
f.    Berdasarkan respon steroid, dibedakan respon terhadap steroid (sindrom nefrotik yang sensitive terhadap steroid (SNSS) yang lazimnya berupa kelainan minimal, tidak perlu biopsy), dan resisten steroid atau SNRS yang lazimnya bukan kelainan minimal dan memerlukan biopsy.

III.    EPIDEMIOLOGI
Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%) dijumpai pada usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki : perempuan= 2:1, sedangkan pada masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1:1. Biasanya 1 dari 4 penderita sindrom nefrotik adalah penderita dengan usia>60 tahun. Namun secara tepatnya insiden dan prevalensi sindrom nefrotik pada lansi tidak diketahui karena sering terjadi salah diagnosa

IV.    PATOFISIOLOGI
a.      Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus ( kebocoran glomerulus) yang ditentukan oleh besarnya molekul dan muatan listrik, dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular). Proteinuria sebagian berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dahn hanya sebagaian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular). Perubahan integritas membrane basalis glomerulus menyebabkan peingkatan permeabilitas glomerulus terhadap perotein plasma dan protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin

b.      Hipoalbuminemia
Hipoalbumin disebabka oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat ( namun tidak memadai untuk mengganti kehilagan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal menurun
Peningkatan permeabilitas glomerulus menyebabkan albuminuria dan hipoalbumineia. Sebagai akibatnya hipoalbuminemia menurunkan tekanan onkotik plasma koloid, meyebabkan peningkatan filtrasi transkapiler cairan keluar tubuh dan menigkatkan edema.

c.       Hiperlipidemia
Kolesterol serum, VLDL (very low density lipoprotein), LDL (low density lipoprotein), trigliserida meningkat sedangkan HDL (high density lipoprotein) dapat meningkat, normal atau meningkat.Hal ini disebabkan sintesis hipotprotein lipid disintesis oleh penurunan katabolisme di perifer.Peningkatan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.

d.      Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C, dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya factor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya factor zymogen.


V.       TANDA DAN GEJALA

Gejala pertama yang muncul meliputi anorexia,rasa lemah, urin berbusa (disebabkan oleh konsentrasi urin yang tinggi). Retensi cairan menyebabkan sesak nafas (efusi pleura), oligouri, arthralgia, ortostatik hipotensi, dan nyeri abdomen (ascites).
Untuk tanda dan gejala yang lain timbul akibat komplikasi dari sindromnefrotik.

VI.    DIAGNOSA

Diagnose SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium berupa proteinuria massif >3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari), hipoalbuminemia <3 akibat="" biopsi="" dan="" dapat="" diagnose="" diperlukan="" dl="" edema="" g="" ginjal.="" ginjal="" hiperkoagulabilitas.="" hiperlipideia="" histopatologi="" jenis="" kelainan="" lipiduria="" menegakkan="" menentukan="" o:p="" pada="" pemeriksaan="" primer="" prognosis="" respon="" seperti="" sn="" tambahan="" terapi="" terhadap="" terjadi="" thrombosis="" untuk="" vena="" venerologi="" yang="">

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan penunjang berikut:
·      Urinalisis
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindromk nefrotik.Proteinuria berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat.3+ menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk dalam nephrotic range.
·      Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak hialin dan torak eritrosit.
·      Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total protein urin ≤ 150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis.
Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin > 2g/g, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g.
·      Albumin serum
- kualitatif    : ++ sampai ++++
- kuantitatif :> 50 mg/kgBB/hari (diperiksa dengan memakai reagen ESBACH)
·      Pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan imunologis
·      USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.
·      Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN congenital, onset usia> 8 tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat manifestasi nefritik signifikan.Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsy mungkin diperlukan untuk diagnosis.Penegakan diagnosis patologi penting dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang berbeda. Penting untuk membedakan minimal-change disease pada dewasa dengan glomerulosklerosisfokal, karena minimal-change disease memiliki respon yang lebih baik terhadap steroid.
·      Darah:
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:2
- Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gm/100ml)
- Albumin menurun (N:4-5,8 gm/100ml)
- α1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml)
- α2 globulin meninggi (N: 0,4-1 gm/100ml)
- β globulin normal (N: 0,5-0,9 gm/100ml)
- γ globulin normal (N: 0,3-1 gm/100ml)
- rasio albumin/globulin <1 o:p="">
- komplemen C3 normal/rendah (N: 80-120 mg/100ml)
- ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal.

VIII.       PENATALAKSANAAN

Tata laksana sindrom nefrotik dibedakan atas pengobatan dengan imunosupresif dan atau imunomodulator, dan pengobatan suportif atau simtomatik. Penatalaksanaan ini meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab (pada SN sekunder), mengurangi atau menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemia, serta mencegah dan mengatasi penyulit.

Terapi Kortikosteroid
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid.Pengobatan dengan kortikosteroid dibedakan antara pengobatan inisial dan pengobatan relaps.

Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 – 8minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4-12 minggu, tapering di 4 bulan berikutnya.Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggunamun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.

Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi parsial dan resisten.Dikatakan remisi lengkap jika proteinuria minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuria<3 albumin="" g="" hari="" serum="">2,5 g/dl, kolesterol serum <350 4="" atau="" bulan="" dan="" dengan="" dikatakan="" diuresis="" dl="" edema.="" jika="" klinis="" kortikosteroid.="" kurang="" laboratoris="" lancar="" masih="" memperlihatkan="" mg="" o:p="" pengobatan="" perbaikan="" perubahan="" resisten="" setelah="" tidak="">

Kelompok SNSS dalam perjalanan penyakit dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu SN non-relaps (30%), SN relaps jarang (10-20%), SN relaps sering dan SN dependen steroid (40-50%).
Sindrom nefrotik non relaps ialah penderita yang tidak pernah mengalami relaps setelah mengalami episode pertama penyakit ini. Sindrom nefrotik relaps jarang ialah anak yang mengalami relaps kurang dari 2 kali dalam periode 6 bulan atau kurang dari 4 kali dalam periode 12 bulan setelah pengobatan inisial. Sindrom nefrotik relaps sering ialah penderita yang mengalami relaps >2 kali dalam periode 6 bulan pertama setelah respons awal atau > 4 kali dalam periode 12 bulan. Sindrom nefrotik dependen steroid bila dua relaps terjadi berturut-turut pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam waktu 14 hari setelah pengobatan dihentikan. 

Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid dapat diberikan dengan steroid jangka panjang, yaitu setelah remisi dengan prednison dosis penuh dilanjutkan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan bertahap sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kg secara alternating. Dosis ini disebut sebagai dosis treshold, diberikan minimal selama 3-6 bulan, kemudian dicoba untuk dihentikan.

Pengobatan lain adalah menggunakan terapi nonsteroid yaitu:Siklofosfamid, Klorambusil, Siklosporin A, Levamisol, obat imunosupresif lain, dan ACE inhibitor.Obat-obat ini utamanya digunakan untuk pasien-pasien yang non-responsif terhadap steroid.

Terapi suportif/simtomatik
Proteinuria
ACE inhibitor diindikasikan untuk menurunkan tekanan darah sistemik dan glomerular serta proteinuria. Obat ini mungkin memicu hiperkalemia pada pasien dengan insufisiensi ginjal moderat sampai berat.Restriksi protein tidak lagi direkomendasikan karena tidak memberikan progres yang baik.

Edema
Diuretik hanya diberikan pada edema yang nyata, dan tidak dapat diberikan SN yang disertai dengan diare, muntah atau hipovolemia, karena pemberian diuretik dapat memperburuk gejala tersebut.Pada edema sedang atau edema persisten, dapat diberikan furosemid dengan dosis 1-3 mg/kg per hari.Pemberian spironolakton dapat ditambahkan bila pemberian furosemid telah lebih dari 1 minggu lamanya, dengan dosis 1-2 mg/kg per hari.Bila edema menetap dengan pemberian diuretik, dapat diberikan kombinasi diuretik dengan infus albumin.Pemberian infus albumin diikuti dengan pemberian furosemid 1-2 mg/kg intravena.Albumin biasanya diberikan selang sehari untuk menjamin pergeseran cairan ke dalam vaskuler dan untuk mencegah kelebihan cairan (overload).Penderita yang mendapat infus albumin harus dimonitor terhadap gangguan napas dan gagal jantung.

Dietetik
Jenis diet yang direkomendasikan ialah diet seimbang dengan protein dan kalori yang adekuat. Kebutuhan protein anak ialah 1,5 – 2 g/kg, namun anak-anak dengan proteinuria persisten yang seringkali mudah mengalami malnutrisi diberikan protein 2 – 2,25 g/kg per hari. Maksimum 30% kalori berasal dari lemak.Karbohidrat diberikan dalam bentuk kompleks seperti zat tepung dan maltodekstrin.Restriksi garam tidak perlu dilakukan pada SNSS, namun perlu dilakukan pada SN dengan edema yang nyata.

Infeksi
Penderita SN sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering ialah selulitis dan peritonitis.Hal ini disebabkan karena pengeluaran imunoglobulin G, protein faktor B dan D di urin, disfungsi sel T, dan kondisi hipoproteinemia itu sendiri.Pemakaian imunosupresif menambah risiko terjadinya infeksi.Pemeriksaan fisis untuk mendeteksi adanya infeksi perlu dilakukan.Selulitis umumnya disebabkan oleh kuman stafilokokus, sedang sepsis dapa SN sering disebabkan oleh kuman Gram negatif.Peritonitis primer umumnya disebabkan oleh kuman Gram-negatif dan Streptococcus pneumoniae sehingga perlu diterapi dengan penisilin parenteral dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ke-tiga, seperti sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari. Di Inggris, penderita SN dengan edema anasarka dan asites masif diberikan antibiotik profilaksis berupa penisilin oral 125 mg atau 250 mg, dua kali sehari sampai asites berkurang.


Hipertensi
Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15% kasus, atau terjadi sebagai akibat efek samping steroid.Pengobatan hipertensi pada SN dengan golongan inhibitor enzim angiotensin konvertase, calcium channel blockers, atau beta adrenergic blockers.

Hipovolemia
Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian diuretik yang tidak terkontrol, terutama pada kasus yang disertai dengan sepsis, diare, dan muntah. Gejala dan tanda hipovolemia ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan perfusi buruk, peningkatan kadar urea dan asam urat dalam plasma. Pada beberapa anak memberi keluhan nyeri abdomen.Hipovalemia diterapi dengan pemberian cairan fisiologis dan plasma sebanyak 15-20 ml/kg dengan cepat, atau albumin 1 g/kg berat badan.

Tromboemboli
Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh karena keadaan hiperkoagulabilitas. Selain disebabkan oleh penurunan volume intravaskular, keadaan hiperkoagulabilitas ini dikarenakan juga oleh peningkatan faktor pembekuan darah antara lain faktor V, VII, VIII, X serta fibrinogen, dan dikarenakan oleh penurunan konsentrasi antitrombin III yang keluar melalui urin. Risiko terjadinya tromboemboli akan meningkat pada kadar albumin plasma < 2 g/dL, kadar fibrinogen > 6 g/dL, atau kadar antitrombin III < 70%. Pada SN dengan risiko tinggi, pencegahan komplikasi tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian asetosal dosis rendah dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan bila telah terhadi tromboemboli, dengan dosis 50 U/kg intravena dan dilanjutkan dengan 100 U/kg tiap 4 jam secara intravena.

Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada SN meliputi peningkatan kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan asam lemak. Kolesterol hampir selalu ditemukan meningkat, namun kadar trigliserida, fosfolipid tidak selalu meningkat. Peningkatan kadar kolesterol berbanding terbalik dengan kadar albumin serum dan derajat proteinuria. Keadaan hiperlipidemia ini disebabkan oleh karena penurunan tekanan onkotik plasma sebagai akibat dari proteinuria merangsang hepar untuk melakukan sintesis lipid dan lipoprotein, di samping itu katabolisme lipid pada SN juga menurun. Hiperlipidemia pada SNSS biasanya bersifat sementara, kadar lipid kembali normal pada keadaan remisi, sehingga pada keadaan ini cukup dengan pengurangan diit lemak. Pengaruh hiperlipidemia terhadap morbiditas dan mortalitas akibat kelainan kardiovaskuler pada anak penderita SN masih belum jelas.Manfaat pemberian obat-obat penurun lipid seperti kolesteramin, derivat asam fibrat atau inhibitor HMG-CoA reduktase (statin) masih diperdebatkan.

IX.    PROGNOSIS
Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada SN.Pengobatan SN dan komplikasinya saat ini telah menurunkan morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan sindrom.Saat ini, prognosis pasien dengan SN bergantung pada penyebabnya. Remisi sempurna dapat terjadi dengan atau tanpa pemberian kortikosteroid.

Hanya sekitar 20 % pasien dengan glomerulosklerosis fokal mengalami remisi proteinuria, 10 % lainnya membaik namun tetap proteinuria. Banyak pasien yang mengalami frequent relaps, menjadi dependen-steroid, atau resisten-steroid. Penyakit ginjal kronik dapat muncul pada 25-30 %  pasien dengan glomerulosklerosis fokal segmental dalam 5 tahun dan 30-40 % muncul dalam 10 tahun.
Orang dewasa dengan minimal-change nephropathymemiliki kemungkinan relaps yang sama dengan anak-anak. Namun, prognosis jangka panjang pada fungsi ginjal sangat baik, dengan resiko rendah untuk gagal ginjal.2Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsialpada 50% SN nefropati membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal segmental.Perlu diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes mellitus.

Respon yang kurang terhadap steroid dapat menandakan luaran yang kurang baik. Prognosis dapat bertambah buruk disebabkan (1) peningkatan insidens gagal ginjal dan komplikasi sekunder dari SN, termasuk episode trombotik dan infeksi, atau (2) kondisi terkait pengobatan, seperti komplikasi infeksi dari pemberian imunosupressive.2Penderita SN non relaps dan relaps jarang mempunyai prognosis yang baik, sedangkan penderita relaps sering dan dependen steroid merupakan kasus sulit yang mempunyai risiko besar untuk memperoleh efek samping steroid. SN resisten steroid mempunyai prognosis yang paling buruk.

Pada SN sekunder, prognosis tergantung pada penyakit primer yang menyertainya.Pada nefropati diabetik, besarnya proteinuria berhubungan langsung tingkat mortalitas.Biasanya, ada respon yang baik terhadap blockade angiotensin, dengan penurunan proteinuria, dan level subnefrotik.Jarang terjadi remisi nyata. Resiko penyakit kardiovaskular meningkat seiring penurunan fungsi ginjal, beberapa pasienakan membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal


Pada amiloidosis primer, prognosis tidak baik, bahkan dengan kemoterapi intensif. Pada amiloidosis sekunder, remisi penyebab utama, seperti rheumatoid arthritis, diikuti dengan remisi amiloidosis dan ini berhubungan dengan SN.

Selasa, 25 Oktober 2016

Penyakit Tularemia ( Francisella tularensis)

Definisi
Tularemia Merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri dengan manifestasi klinis yang sangat bervariasi tergantung kepada tempat masuknya bakteri dan virulensi dari bakteri yang menginfeksi. Penyakit ini menyerang berbagai jenis hewan termasuk domba.

Etiologi
Tularemia disebabkan oleh bakteri Francisella tularensis atau Pasteurella tularensis, sejenis kokobasilus yang non motil, berbentuk kecil, gram negatif. Semua isolat secara serologis homogen dibedakan satu sama lain secara epidemiologis dan biokemis yaitu menjadi Jellison Type A (F. tularensis biovarian tularensis) dengan LD50 pada kelinci lebih kecil dari 10 bakteria atau Jellison type B (F. tularensis biovarian palaearctica) dengan LD50 pada kelinci lebih besar dari 107 bakteria. Didalam tinja yang kering bakteri ini dapat hidup selama 25-30hari.

Klasifikasi 
Domain           : Bacteria 
Phylum            : Proteobacteria 
Class                : Gamma Proteo Bacteria 
Ordo                : Thiotrichales 
Family             : Francisellaceae 
Genus              : Francisella 
Spesies            : Francisella tularensis 

Morfologi 
Francisella tularensis adalah bakteri Gram negatif (bakteri Gram negatif terdiri dari outermembran dengan peptidoglikan, tidak seperti bakteri Gram positif yang mempunyai dinding sel yang tebal dan tidak mempunyai outermembran. Kebanyakan bakteri Gram negatif bersifat patogen), dengan phili pada permukaan. Bakteri ini bersifat nonmotil, aerob, dan tidak berspora. Di alam baktri ini dapat bertahan lama pada temperatur rendah di air, tanah, dan bangkai hewan. Dalam penelitian laboratorium, Francisella tularensis berukuran 0,2 m dan tumbuh pada suhu 35-37°C. 

Bakteri Francisella tularensis 
Ada empat suspecies dari Francisella tularensis yang diketahui. Dua strain dari Francisella tularensis yang paling banyak dipelajari yaitu tipe A yang lebih virulen (ditemukan di Amerika Utara) dan tipe B yang kurang virulen (subspecies holartica, ditemukan di Eropa). Dua species lain adalah mediasiatica yang tidak virulen, ditemukan di Asia Tengah, dan novicida yang tidak banyak diketahui. Francisella tularensis mempunyai kromosom yang berbentuk bulat dan mempunyai 52 RNA yang terdiri dari 32% Guanin dan Sitosin, 79% gen fungsional. Kebanyakan bakteri Francisella mempunyai ukuran dan bentuk yang sama. Mereka ditutupi oleh kapsul seperti lapisan dengan batas yang jelas. Keturunan yang virulen seperti Francisella tularensis mempunyai kapsul yang tebal sementara yang tidak virulen mempunyai kapsul yang tipis. Bakteri ini terdiri dari 4 tipe pili di permukaan yang digunakan untuk menempel di jaringan inang, pembentukan biofilm, dan pembentukan motil. Francisella tularensis juga terdiri dari siderophores yang tumbuh di bawah besi. 
Siderophores adalah molekul kecil yang dapat mengikat reseptor di membran bakteri. Keistimewaan ini penting untuk bakteri karena replikasi intraseluler dari Francisella tularensis tergantung pada besi, bahkan bakteri yang virulen adalah yang tergantung pada besi.

Epidemiologi
Tularemia tersebar hampir di semua bagian Amerika Utara dan di sebagian besar benua Eropa, di bekas Uni Soviet, Cina dan Jepang. Di AS penyakit ini ditemukan sepanjang tahun; insidensi penyakit ini ditemukan lebih tinggi pada orang dewasa dimusim dingin pada saat musim perburuan kelinci dan pada anak-anak dimusim panas pada saat densitas vektor berupa kutu dan lalat pada menjangan/kijang meningkat. Francisella tularensis biovarian tularensis terbatas ditemukan hanya dibagian utara benua Amerika dan sering ditemukan pada kelinci (jenis Cottontail, Jack dan Snowshoe), dan biasanya penularan terjadi karena gigitan kutu binatang tersebut. Sedangkan Francisella tularensis biovarian palaearctica sering ditemukan pada mamalia selain kelinci di bagian utara benua Amerika; berbagai strain ditemukan di Elerasia pada binatang jenis voles, muskrat dan tikus air. Sedangkan di Jepang ditemukan pada kelinci.

Reservoir
Berbagai jenis binatang liar seperti kelinci, hares, voles, muskrats, beavers dan beberapa jenis binatang domestik dapat berperan sebagai reservoir; begitu juga berbagai jenis kutu dapat berperan sebagai reservoir, sebagai tambahan telah ditemukan siklus penularan dari rodentia – nyamuk untuk F. tularensis biovarian palaearctica didaerah Skandinavia, Baltic dan Rusia.

Cara penularan
Berbagai cara penularan telah diketahui antara lain melalui gigitan binatang berkaki beruas (artropoda) seperti kutu Dermacentor andersoni, kutu anjing D. variabilis, Anblyomma americanum (the lonestar stick); dan walaupun jarang terjadi, lalat Chrysops discalis pada kijang/menjangan dapat juga menularkan penyakit ini. Di Swedia nyamuk Aedes cinerius diketahui dapat menularkan penyakit ini melalui inokulasi kulit, melalui mukosa konjungtiva dan mukosa orofaring yang terpajan dengan air yang terkontaminasi.
Penularan dapat juga terjadi karena terpajan dengan darah atau jaringan binatang yang terinfeksi (pada waktu menguliti binatang, memotong daging atau pada waktu melakukan nekropsi); mengkonsumsi daging atau jaringan binatang yang terinfeksi yang tidak dimasak dengan sempurna; minum air yang terkontaminasi; inhalasi debu yang terkontaminasi atau inhalasi partikel dari tumpukan rumput/jerami kering dan padi-padian yang terkontaminasi. Jarang sekali penularan terjadi melalui gigitan coyote (sejenis rubah), tupai, musang, babi hutan, kucing atau anjing yang mulutnya tercemar karena diduga memakan binatang yang terinfeksi. Penularan juga jarang terjadi karena bulu dan cacar binatang. Jika penularan terjadi karena kecelakaan dilaboratorium biasanya berupa pneumonia primer dn tularemia tifoidal.




Masa Inkubasi
Masa inkubasi sangat bergantung pada virulensi daripada mikroorganisme dan tergantung pada ukuran inokulum. Biasanya berkisar antara 1 – 14 hari, rata-rata 3 – 5 hari.

Masa Penularan
Tidak ditularkan langsung dari orang ke orang. Pada penderita yang tidak diobati mirkoorganisme penyebab penyakit ditemukan didalam darah selama 2 minggu pertama infeksi, dan ditemukan didalam lesi selama satu bulan bahkan terkadang lebih lama. Lalat mengandung bakteri selama 14 hari dan kutu selama hidup mereka (sekitar 2 tahun). Daging kelinci yang dibekukan pada suhu –150C (50F) tetap infektif selama 3 tahun.

Gejala Klinis
Gejala klinis lebih sering muncul sebagai ulcus yang indolen ditempat masuknya bakteri disertai dengan pembengkakan kelenjar limfe disekitarnya (tipe ulseroglanduler). Manifestasi lain dapat berupa infeksi tanpa disertai timbulnya ulcus, hanya terjadi pembengkakan satu atau beberapa kelenjar limfe disertai dengan rasa sakit. Pembengkakan kelenjar limfe ini mengalami supurasi (tipe glanduler). Tertelannya mikroorganisme karena mengkonsumsi makanan dan minuman yang tercemar dapat menimbulkan faringitis dengan rasa sakit (dengan atau tanpa terjadi ulserasi), sakit perut, diare dan muntah (tipe orofaringeal). Jika mikroorganisme masuk kedalam tubuh melalui
inhalasi dapat terjadi pneumonia atau sindroma septikemi primer, jika tidak segera diberi pengobatan yang tepat, dapat menimbulkan kematian dengan CFR sekitar 30 – 60% (tipe tifoidal). Mikroorganisme yang masuk melalui darah biasanya menimbulkan penyakit yang terlokalisir pada paru dan ruangan pleura (tipe pleuropulmoner). Walaupun sangat jarang sekali, mikroorganisme dapat masuk melalui Sacus conjunctivus dan menimbulkan konjungtivitis purulenta disertai dengan pembengkakan kelenjar limfe disekitarnya (tipe okuloglanduler). Dari semua tipe infeksi diatas dapat terjadi komplikasi pneumonia yang memerlukan pengenalan dan pengobatan secara dini untuk mencegah kematian.
Ada dua biovarians dengan patogenisitas yang berbeda yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Organisme yang disebut dengan nama Jellison type A adalah jenis yang lebih virulen, jika tidak diobati dengan benar dapat menimbulkan kematian dengan CFR berkisar antara 5 – 15% terutama disebabkan oleh penyakit dengan tipe tifoidal atau dengan tipe pleuropulmoner. Dengan pengobatan menggunakan antibiotika yang tepat CFR dapat diturunkan secara bermakna. Biovarian dengan nama Jellison type B, virulensinya lebih rendah walaupun tidak diobati, CFR-nya rendah. Secara klinis tularemia sulit dibedakan dengan pes dan dengan penyakit lain seperti infeksi oleh Stafilokokus dan Streptokokus, Cat Scratch fever, Sporotrichosis oleh karena semua penyakit yang disebutkan diatas dapat menimbulkan pembengkakan kelenjar limfe yang bubonik dan pneumonia berat.



Diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan diagnosa pasti dibuat karena adanya kenaikan titer antibodi spesifik yang muncul pada minggu kedua sakit. Terjadi reaksi silang dengan infeksi spesies Brucella. Diagnosa cepat dibuat melalui pemeriksaan spesimen yang diambil dari eksudat ulcus dan aspirat dari kelenjar limfe dengan tes FA. Biopsi yang dilakukan untuk tujuan diagnostik harus dilindungi dengan pemberian antibiotik yang tepat karena tindakan biopsi dapat menimbulkan septikemi. Bakteri penyebab infeksi dapat diisolasi melalui kultur pada media khusus seperti dengan media cysteine glucose blood agar atau dengan melakukan inokulasi binatang percobaan dengan bahan yang diambil dari lesi, darah dan sputum. Untuk menentukan biovarians dilakukan dengan pemeriksaan reaksi kimiawi. Tipe A memfermentasikan gliserol dan merubah citrulline menjadi ornithine. Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan dengan sangat hati-hati oleh karena dapat terjadi penularan bahan infeksius melalui udara. Oleh karena itu identifikasi dengan menggunakan media kultur hanya dilakukan dilaboratorium rujukan yang sudah sangat berpengalaman dengan fasilitas keamanan yang memadai. Umumnya diagnosis ditegakkan hanya dengan pemeriksaan serologis.

Penatalaksanaan
Obat pilihan adalah streptomisin atau gentamisin, diberikan selama 7 – 14 hari; sedangkan tetrasiklin dan kloramfenikol bersifat bakteriostatik jika diberikan kurang dari 14 hari, relaps lebih sering terjadi dibandingkan pengobatan dengan menggunakan streptomisin. Namun telah ditemukan mikroorganisme virulen yang resisten terhadap streptomisin. Tindakan insisi, biopsi, aspirasi yang dilakukan untuk mengambil sampel pada kelenjar limfe yang terinfeksi dapat menyebarkan infeksi. Tindakan ini harus dilindungi dengan antibiotika yang tepat.

Pencegahan
  • Berikan penyuluhan kepada masyarakat untuk menghindari diri terhadap gigitan kutu, lalat dan nyamuk. Hindari minum air, mandi atau bekerja diperaiaran yang tidak ditangani dengan baik dimana didaerah tersebut angka infeksi pada binatang liar sangat tinggi.
  • Pakailah sarung tangan pada saat menguliti binatang terutama kelinci. Masaklah daging kelinci liar atau binatang rodensia sebelum dikonsumsi.
  • Berlakukan larangan pengapalan antar pulau terhadap hewan atau daging hewan yang terinfeksi.
  • Vaksinasi intradermal dengan skarifikasi menggunakan vaksin jenis “Live attenuated” digunakan secara luas dibekas Uni Soviet dan secara terbatas digunakan dikalangan pekerja dengan risiko penularan di AS. Vaksin “Live anttenuated” yang dulu pernah digunakan untuk tujuan penelitian
  • pada petugas laboratorium di AS saat ini tidak lagi tersedia.
  • Pakailah masker, pelindung mata, sarung tangan dan jas laboratorium (Personal Protection Equipment) dan pergunakan kabinet dengan tekanan negatif pada saat bekerja dengan kultur F. tularensis.


Prognosis

Jika diobati, sebagian besar penderita bisa diselamatkan.
Sekitar 6% penderita yang tidak diobati akhirnya meninggal. Kematian biasanya terjadi akibat infeksi yang tidak terkontrol, pneumonia, meningitis (infeksi selaput otak) atau peritonitis (infeksi selaput rongga perut).

Jarang terjadi kekambuhan, tetapi jika pengobatannya tidak adekuat, maka bisa terjadi kekambuhan.
Penderita tularemia nantinya akan membentuk kekebalan terhadap infeksi ini.