Kamis, 04 Agustus 2016
Filariasis
Definisi
Epidemiologi
Filariasis ditemukan di daerah tropis Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Selatan, dengan 120 juta manusia terjangkit. WHO
mencanangkan program dunia bebas filariasis pada tahun 2020. Di Indonesia penyakit Kaki Gajah
tersebar luas hampir di Seluruh propinsi. Berdasarkan laporan dari hasil survei
pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar
di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus
kronis 6233 orang. Hasil survai laboratorium, melalui pemeriksaan darah
jari, rata-rata Mikrofilaria rate (Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang
sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang mempunyai resiko
tinggi untuk ketularan karena nyamuk penularnya tersebar luas.
Etiologi
infeksi oleh sekelompok cacing nematoda
parasit yang tergabung dalam superfamilia Filarioidea.
A. Klasifikasi
Cacing filaria (Wuchereria bancrofti)
Wuchereria
bancrofti atau disebut juga Cacing Filaria adalah kelas dari anggota hewan tak
bertulang belakang yang termasuk dalam filum Nemathelminthes. Bentuk cacing ini
gilig memanjang, seperti benang maka disebut filarial. Cacing filaria penyebab
penyakit kaki gajah berasal dari genus wuchereria dan brugia. Di
Indonesia cacing yang dikenal sebagai penyebab penyakit tersebut adalah
wuchereria bancrofti, brugia malayi, dan brugia timori.
Klasifikasi
ilmiah
Kingdom:
Animalia
Classis
: Secernentea
Ordo
: Spirurida
Upordo
: Spirurina
Family
: Onchocercidae
Genus
:
Wuchereria
Species
: Wuchereria bancrofti
B. Morfologi
dan siklus hidup cacing filaria
Ciri-ciri
cacing filaria
Cacing
dewasa (makrofilaria), berbentuk seperti benang berwarna putih
kekuningan. Sedangkan larva cacing filaria (mikrofilaria) berbentuk seperti
benang berwarna putih susu. Cacing dewasa hidup dalam pembuluh kelenjar limfa.
Cacing betina ukurannya 65-100 mm x 0.25mm dan ekornya lurus berujung
tumpul, sedangkan cacing jantan berukuran 40mm x 0.1mm dan ekor melingkar.
Cacing betina mengeluarkan microfilaria. Microfilaria bersarung berukuran
panjang kurang lebih 250 mikron dan pada umumnya ditemukan dalam darah tepi
pada waktu malam(periodisitas nocturna). (rosdiana safar 2010)
Siklus
hidup cacing filaria (wuchereria bancrofti)
Vector dari cacing filaria adalah nyamuk Culex (cx. Quinquifafasciatus),
Anopheles, dan Aedes. Nyamuk menghisap darah manusia yang mengandung
microfilaria waktu malam hari. Dalam lambung, nyamuk microfilaria akan berubah
menjadi larva yang berbentuk gemuk dan pendek (stadium 1), lalu pindah ke
thorax nyamuk menjadi larva yang berbentuk gemuk dan panjang(stadium 2),
kemudian masuk ke kelenjar ludah nyamuk membentuk larva yang panjang dan
halus(stadium 3). Bila nyamuk menggigit manusia maka nyamuk (stadium 3)akan
dimasukkan ke pembuluh darah dan pembuluh limfa manusia menjadi nyamuk
(stadium4). Kemudian (stadium4) akan menuju kelenjar limfa dan menjadi dewasa
jantan dan betina yang disebut (stadium5). Setelah cacing dewasa kawin
dikelenjar limfa maka yang betina akan melahirkan microfilaria. Lingkaran hidup
didalam tubuh manusia mulai (stadium3) masuk kedalam tubuh manusia sampai
ditemukan microfilaria didarah perifer, berlangsung dalam waktu 10-14
hari.(rosdiana safar 2010)
Patofisiologi
Penyakit
filariasis atau biasa disebut dengan penakit kaki gajah merupakan penyakit
menular yang disebabkan oleh cacing filarial yang ditularkan oleh berbagai
jenis nyamuk. Tetapi tidak semua pengandung w.bancrofti ini menjadi sakit.
Microfilaria pada umumnya tidak menimbulkan kelainan, namun yang menyebabkan
gejala ialah cacing dewasa,bermula dari inflamasi saluran limfe akibat dilalui
cacing filaria dewasa (makrofilaria). Cacing dewasa ini melalui saluran limfe
aferen atau sinus-sinus limfe sehingga menyebabkan dilatasi limfe pada
tempat-tempat yang dilaluinya. Dilatasi ini mengakibatkan banyaknya cairan
plasma yang terisi dari pembuluh darah yang menyebabkan penebalan pembuluh
darah di sekitarnya.
Akibat
kerusakan pembuluh, akan terjadi infiltrasi sel-sel plasma, esosinofil, serta
makrofag di dalam dan sekitar pembuluh darah yang terinfeksi. Nah, infiltrasi
inilah yang menyebabkan terjadi proliferasi jaringan ikat dan menyebabkan
pembuluh limfe di sekelilingnya menjadi berkelok-kelok serta menyebabkan
rusaknya katup-katup di sepanjang pembuluh limfe tersebut. Akibatnya, limfedema
dan perubahan statis-kronis dengan edema pada kulit di atas pembuluh tersebut
menjadi tak terhindarkan lagi.
Jadi,
jelaslah bahwa biang keladi edema pada filariasis ialah cacing dewasa
(Makrofilaria) yang merusak pembuluh limfe serta mekanisme inflamasi dari tubuh
penderita yang mengakibatkan proliferasi jaringan ikat di sekitar pembuluh.
Respon inflamasi ini juga diduga sebagai penyebab granuloma dan proliferatif
yang mengakibatkan obstruksi limfe secara total. Ketika cacing masih hidup,
pembuluh limfe akan tetap paten, namun ketika cacing sudah mati akan terjadi
reaksi yang memicu timbulnya granuloma dan fibrosis sekitar limfe. Kemudian
akan terjadi obstruksi limfe total karena karakteristik pembuluh limfe bukanlah
membentuk kolateral (seperti pembuluh darah), namun akan terjadi malfungsi
drainase limfe di daerah tersebut.
Tanda dan Gejala
1. Filariasis Akut
a. Demam berulang-ulang
selama 3 - 5 hari, Demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah
bekerja berat
b. pembengkakan kelenjar
getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiap (lymphadenitis)
yang tampak kemerahan, panas dan sakit
c. radang saluran kelenjar
getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau
pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis)
d. filarial abses akibat
seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan
mengeluarkan nanah serta darah
e. pembesaran tungkai,
lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas
(early lymphodema).
2. Filariasis Kronis
a. elefantiasis (penebalan kulit dan jaringan-jaringan di
bawahnya) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elefantiasis
skroti). sebenarnya hanya disebabkan oleh filariasis limfatik ini. B.
timori diketahui jarang menyerang bagian kelamin, tetapi W.
bancrofti dapat menyerang tungkai dada, serta alat kelamin
Filariasis biasanya
dikelompokkan menjadi tiga macam, berdasarkan bagian tubuh atau jaringan yang
menjadi tempat bersarangnya:
1. Filariasis limfatik
Etiologi
Tanda dan Gejala
elefantiasis (penebalan kulit dan jaringan-jaringan
di bawahnya) sebenarnya hanya disebabkan oleh filariasis limfatik ini. B.
timori diketahui jarang menyerang bagian kelamin, tetapi W.
bancrofti dapat menyerang tungkai dada, serta alat kelamin.
2. Filariasis subkutan
(bawah jaringan kulit)
Etiologi
Loa loa (cacing mata Afrika), Mansonella streptocerca, Onchocerca volvulus, dan Dracunculus medinensis(cacing guinea). Mereka
menghuni lapisan lemak yang ada di bawah lapisan kulit. Jenis
filariasis yang terakhir disebabkan oleh Mansonella perstans dan Mansonella
ozzardi, yang menghuni rongga perut. Semua parasit ini disebarkan melalui nyamuk atau lalat pengisap darah, atau, untuk Dracunculus,
oleh kopepoda(Crustacea). Selain elefantiasis, bentuk
serangan yang muncul adalah kebutaan Onchocerciasis akibat infeksi oleh Onchocerca volvulus dan migrasi
microfilariae lewat kornea
3. Filariasis rongga
serosa (serous cavity)
Diagnosis
Filariasis dapat
ditegakkan secara Klinis, yaitu bila seseorang tersangka Filariasis ditemukan
tanda-tanda dan gejala akut ataupun kronis, dengan pemeriksaan darah jari yang
dilakukan mulai pukul 20.00 malam waktu setempat, seseorang dinyatakan sebagai
penderita Filariasis, apabila dalam sediaan darah tebal ditemukan mikrofilaria.
Pencegahan
1. berusaha menghindarkan
diri dari gigitan nyamuk vector ( mengurangi kontak dengan vector) misalnya
dengan menggunakan kelambu bula akan sewaktu tidur,
2. menutup ventilasi rumah
dengan kasa nyamuk
3. menggunakan obat nyamuk
semprot atau obat nyamuk baker
4. mengoles kulit dengan
obat anti nyamuk, atau dengan cara memberantas nyamuk dengan membersihkan
tanaman air pada rawa-rawa yang merupakan tempat perindukan nyamuk, menimbun,
mengeringkan atau mengalirkan genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk ;
membersihkan semak-semak disekitar rumah.
Pengobatan
secara massal dilakukan
didaeah endemis dengan menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC)
dikombinasikan dengan Albenzol sekali setahun selama 5 - 10 tahun, untuk
mencegah reaksi samping seperti demam, diberikan Parasetamol ; dosis obat untuk
sekali minum adalah, DEC 6 mg/kg/berat badan, Albenzol 400 mg albenzol (1
tablet ) ; pengobatan missal dihentikan apabila Mf rate sudah mencapai <
1 % ; secara individual / selektif; dilakukan pada kasus klinis, baik stadium
dini maupun stadium lanjut, jenis dan obat tergantung dari keadaan kasus.
Keratitis Jamur
Definisi
Keratitis adalah reaksi inflamasi
kornea. Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea
dan berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-5% kasus
keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan
keratitis jamur. 2,4
3.2 Insidensi
Walaupun infeksi jamur pada kornea sudah
dilaporkan pada tahun 1879 oleh Leber, tetapi baru mulai periode 1950-an
kasus-kasus keratomikosis diperhatikan dan dilaporkan, terutama di bagian
selatan Amerika Serikat dan kemudian diikuti laporan-laporan dari Eropa dan Asia termasuk Indonesia. Banyak
laporan menyebutkan peningkatan penggunaan kortikosteroid topiKal, penggunaan
obat immunosupresif dan lensa kontak, di sampIng juga bertambah baiknya
kemampuan diagnostiK klinik dan laboratorik, seperti dilaporkan di Jepang dan
Amerika Serikat. Singapura melaporkan (selama 2,5 tahun) dari 112 kasus ulkus
kornea, 22 beretiologi jamur, sedang di RS Mata Cicendo Bandung (selama 6
bulan) didapat 3 kasus dari 50 ulkus kornea, Taiwan (selama 10 tahun) 94 dari
563 ulkus, bahkan baru-baru ini Bangladesh melaporkan 46 dari 80 ulkus
(kemungkinan keratitis virus sudah disingkirkan). 2,4
3.3 Etiologi
Penyebab keratitis bermacam-macam.
Bakteri, virus dan jamur dapat menyebabkankeratitis. Penyebab paling sering
adalah virus herpes simplex tipe 1. Selain itu penyebablain adalah kekeringan
pada mata, pajanan terhadap cahaya yang sangat terang, bendaasing yang masuk ke
mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif terhadap kosmetik mata,
debu, polusi atau bahan iritatif lain, kekurangan vitamin A dan penggunaan
lensakontak yang kurang baik (Mansjoer, 2001).
Secara
ringkas dapat dibedakan : 2,4
1.
Jamur berfilamen (filamentous fungi): bersifat multiseluler dengan
cabang-cabang hifa.
a.
Jamur berfilamen :
Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp, Cladosporium sp, Penicillium sp,
Paecilomyces sp, Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria sp.
b.
Jamur tidak bersepta :
Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp
2.
Jamur ragi ( yeast)
Jamur
uniseluler dengan pseudohifa dan tunas : Candida albicans, Cryptococcus sp,
Rodotolura sp
3.
Jamur difasik
Pada jaringan
hidup membentuk ragi sedang media pembiakan membentuk miselium : Blasomices sp,
Coccidiodidies sp, Histoplastoma sp, Sporothrix sp. Tampaknya di Asia Tenggara
tidak begitu berbeda penyebabnya, yaitu Aspergillus sp da Fusarium sp,
sedangkan Asia Timur Aspergillus sp.
3.4 Klasifikasi
Keratitis
biasanya diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang terkena :yaitu
keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel dan bowman dan
keratitis profunda apabila mengenai lapisan stroma.Bentuk-bentuk klinik
keratitis superfisialis antara lain adalah (Ilyas, 2006) : 2,4
- Keratitis
punctata superfisialis. Berupa bintik-bintik putih pada permukaan kornea
yang dapat disebabkan olehsindrom dry eye, blefaritis, keratopati
logaftalmus, keracunan obat topical, sinar ultraviolet, trauma kimia
ringan dan pemakaian lensa kontak
- Keratitis
flikten. Benjolan putih yang yang bermula di limbus tetapi mempunyai
kecenderunganuntuk menyerang kornea.
- Keratitis
sik. Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi
kelenjar lakrimaleatau sel goblet yang berada di konjungtiva.
- Keratitis
lepra Suatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan trofik saraf,
disebut jugakeratitis neuroparalitik.
- Keratitis
numularis Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya
multiple dan banyak didapatkan pada petani.
Bentuk-bentuk
klinik keratitis profunda antara lain adalah : 2,4
- Keratitis
interstisialis luetik atau keratitis sifilis congenital.
- Keratitis
sklerotikans
3.5 Patofisiologi
Hifa jamur cenderung masuk stroma
secara parallel ke lamella kornea. Mungkin ada nekrosis koagulatif stroma
kornea yang meluas dengan edema serat kolagen dan keratosit. Reaksi inflamasi
yang menyertai kurang terlihat daripada keratitis bakterialis. Abses cincin
steril mungkin ada yang terpisah pusat ulkus. Mikroabses yang multipel dapat
mengelilingi lesi utama. Hifa berpotensi masuk ke membrane Descement yang intak
dan menyebar ke kamera okuli anterior. Di banyak kasus, jamur dapat tidak
ditemukan dari permukaan dan stroma superficial pada pasien specimen
histopatologi, yang menjelaskan kegagalan pengambilan sampel untuk menemukan
organism pada ulkus pada tahap yang lanjut. 2,4,6
Karena
kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera datang,
seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan
kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera
bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah
yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru
terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit
polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak
sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan
permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah
ulkus kornea . Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada
kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan
fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama
palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat
progresif, regresi iris,yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan
iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang
berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia, yang berat
pada kebanyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi
terjadi pada penyakit ini,yang juga merupakan tanda diagnostik berharga.
Meskipun berair mata dan fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea, umumnya
tidak ada tahi matakecuali pada ulkus bakteri purulent. Karena kornea berfungsi
sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya, lesi kornea umumnya
agak mengaburkan penglihatan, terutama kalauletaknya di pusat. 6
Stadium Perjalanan Keratitis 2,4,5
Stadium infiltrasi. Infiltrasi epitel stroma, sel epitel
rusak, edema, nekrosis lokal. Hanya stadium 1 yang terjadi pada keratitis,
sedangkan stadium 2 dan 3 terjadi pada keratitis lanjut seperti pada ulkus
kornea. Gejala objektif pada stadium ini selalu ada dengan batas kabur,
disertai tanda radang, warna keabu-abuan dan injeksi perikorneal.9
Stadium regresi. Ulkus disertai infiltrasi di sekitarnya, vaskularisasi meningkat dengan tes
flouresensi positif.9
Stadium sikatrik. Pada stadium ini terjadi epitelisasi, ulkus menutup, terdapat jaringan
sikatrik dengan warna kornea kabur. Tanpa disertai tanda keratitis, batas
jelas, tanpa tanda radang, warna keputihan dan tanpa injeksi perikorneal.9
3.6 Manifestasi Klinis
Tanda patognomik dari keratitis ialah
terdapatnya infiltrate di kornea. Infiltrate dapat ada di seluruh lapisan
kornea, dan menetapkan diagnosis dan pengobatan keratitis. Pada peradangan yang
dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan jaringan parut (sikatrik), yang
dapat berupa nebula, macula, dan leukoma. Adapun gejala umumnya adalah : 2,4
§ Keluhan
air mata yang berlebihan
§ Nyeri
§ Penurunan
tajam penglihatan
§ Radang
pada kelopak mata (bengkak, merah)
§ Mata
merah
§ Sensitive
terhadap cahaya
Reaksi
peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur dalam bentuk
mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut. Agen-agen
ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akit, respon
antigenic dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat. Ulkus
kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat berat. Ulkus kornea yang
disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan infiltrasi abu-abu sampai
putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang tidak meradang tampak
elevasi ke atas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi utama dan
berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat parallel
terhadap ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang merupakan
reaksi antara antigen jamur dan respon antibody tubuh. Sebagai tambahan,
hipopion dan secret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva
dan kamera okuli anterior dapat cukup parah. Sebenarnya gambaran yang khas pada
ulkus kornea tidak ada. Infeksi awal dapat sama seperti infiltrasi
stafilokokus, khususnya dekat limbus. Ulkus yang besar dapat sama dengan
keratitis bakteri. Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman
berikut : 1,2
§ Lesi
satelit
§ Tepi
ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang irregular dan tonjolan seperti
hifa di bawah endotel utuh.
§ Plak
endotel
§ Hypopyon,
kadang-kadang rekuren
§ Formasi
cincin sekeliling ulkus
§ Lesi
kornea yang indolen
3.7 Diagnosis
Anamnesis
pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat diungkapkan adanya riwayat
trauma. kenyataannya, benda asing dan abrasi merupakan dua lesi yang umum pada
kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga bermanfaat. Keratitis akibat
infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun karena erosi kambuh sangat sakit
dan keratitis herpetik tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya.
Hendaknya pula ditanyakan pemakaian obat lokal oleh pasien, karenamungkin telah
memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi penyakit
bakteri, fungi, atau oleh virus, terutama keratitis herpes simpleks. Juga mungkin
terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS,
dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus. Dokter memeriksa di
bawah cahaya yang memadai. Pemeriksaan sering lebih mudah dengan meneteskan
anestesi lokal. Pemulusan fluorescein dapat memperjelas lesi epitel
superfisialis yang tidak mungkin tidak telihat bila tidak dipulas. Pemakaian fluorescein
sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum menyingkirkan diagnosis
keratomikosis. Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya
dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop.
Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan
angka keberhasilan masing-masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik
lagi melakukan biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tapi sayang perlu
biaya yang besar. Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential
interference contrast microscope untuk melihat morfologi jamur dari kerokan
kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan
kultur dengan agar Sabouraud atau agar ekstrak maltosa. 1,6
Biomikroskop
(slitlamp)
Pemeriksaan
kornea dengan benar; jika tidak tersedia, dapat dipakai kaca pembesar dan
pencahayaan terang. Harus diperhatikan perjalanan pantulan cahaya saat menggerakkan
cahaya di atas kornea. Daerah kasar yang menandakan defek pada epitel terlihat
dengan cara ini. 1,2,6
Biopsi
kornea
Indikasi
jika terjadi respon yang minimal terhadap pengobatan atau jika kultur telah
negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klinis yang sangat mendukung suatu
proses infeksi. Hal ini juga dapat diindikasikan jika infiltrat terletak di
pertengahan atau dalam stroma dengan jaringan atasnya tidak terlibat. Pada
pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan bantuan Slit Lamp atau
mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal, gunakan sebuah pisau untuk
mengambil sepotong kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk memungkinkan
pembelahan sehingga satu porsi dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya
untuk histopatologi. Spesimen biopsi harus disampaikan ke laboratorium secara
tepat waktu. 1,2,6
3.8 Penatalaksanaan
Pengamatan
klinik dan laboratorium memperlihatkan bahwa jamur berbeda sensibilitasnya
terhadap anti jamur, tergantung spesiesnya; hal ini sering dilupakan, ditambah
lagi jenis obat anti jamur yang terbatas tersedia secara komersial di
Indonesia.
Secara ideal
langkah-langkah yang ditempuh sama dengan pengobatan terhadap keratitis/ulkus
bakterialis : 3,5
- Diagnosis
kerja atau diagnosis klinik.
- Pemeriksaan
laboratorik :
a. Kerokan
kornea, diwarnai dengan KOH, Gram, Giemsa atau KOH +Tinta India.
b. Kultur
dengan agar Sabouraud atau ekstrak Maltosa.
- Pemberian
antijamur topikal berspektrum luas.
- Penggantian
obat bila tidak terdapat respon. Obat yang ideal mempunyai sifat berikut:
a. Berspektrum
luas.
b. Tidak
menimbulkan resistensi.
c. Larut
dalam air atau pelarut organik.
d. Stabil
dalam larutan air.
e. Berdaya
penetrasi pada kornea setelah pemberian secara topikal,subkonjungtival atau
sistemik. 6.Tidak toksik.
f. Tersedia
sebagai obat topikal atau sistemik.Jenis obat anti jamur adalah sebagai berikut
:
Antibiotik
polyene
Berdaya anti
fungi karena mengganggu permeabilitas membran jamur sehingga terjadi
ketidakseimbangan intraseluler. Polyene dengan molekul kecil seperti Natamycin
menyebabkan lisis permanen membran dibanding perubahan reversibeloleh yang
bermolekul besar seperti Nystatin, Amphotericin B. Tidak larut dalam air dan
tidak stabil pada oksigen, cahaya, air, panas. 3,5
Golongan ini
mempunyai dayaantifungi spektrum luas tapi tidak efektif terhadap Actinomyces
dan Nocardia. Nystatin semula tersedia secara komersial di Indonesia, tetapi
sekarang sedang tidak diproduksi. Mungkin bisa dibuat dari tablet Mycostatin®
(500.000 unit/tablet) dengankonsentrasi 100.000 unit/ml, walaupun vehikulum
talknya iritatif terhadap kornea dankonjungtiva. 3,5
Halogen
Larutan 0,025%
dilaporkan berhasil mengobati infeksi Candida albicans,tetapi cepat
dinonaktifkan oleh air mata dan berdaya penetrasi lemah pada kornea.Diberikan
secara kauterisasi, dapat dengan kapas lidi steril.
Thimerosal (Merthiolat) 3,5
Secara konservatif, rawat inap
dianjurkan saat terapi dimulai kerana keratomikosis memerlukan terapi yang lama
dan teliti. Sebelum pemberian sebarang terapi antimikotik, hendaklah dilakukan
kerokan kornea terlebih dahulu menggunakan silet surgical untuk mengurangi
koloni jamur di kornea dan untuk membantu penetrasi agen anti jamur.(14)
Yang utama dalam terapi
keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi; bisa dibagi:(8,9)
a. Belum diidentifikasi jenis jamur
penyebabnya.
b. Jamur berfilamen.
c. Ragi(yeast).
d. Golongan Actinomyces yang sebenarnya
bukan jamur sejati.
Untuk golongan I: Topikal Amphotericin B, Thiomerosal,
Natamycin (obat terpilih), Imidazole (obat terpilih).
Untuk golongan II: Topikal Amphotericin B, Thiomerosal,
Natamycin (obat terpilih), Imidazole (obat terpilih).
Untuk golongan III: Amphotericin B, Natamycin, Imidazole.
Untuk golongan IV: Golongan Sulfa, berbagai jenis
antibitotik.
Steroid topikal adalah kontra
indikasi, terutama pada saat terapi awal. Diberikan juga obat siklopegik
(atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk mengurangi uveitis anterior.
Agen anti jamur dibagi kepada beberapa kelompok: (8,9)
1. Polyene termasuk Natamycin, Nystatin
dan Amphotericin B.
Berdaya
anti fungi dengan mengikat pada dinding sel fungi dan mengganggu permeabilitas
membran jamur sehingga terjadi ketidakseimbangan intraseluler. Polyene dengan
molekul kecil seperti Natamycin menyebabkan lisis permanen pada membran
dibanding perubahan reversibel oleh molekul besar seperti Nystatin.
Amphotericin B tidak larut dalam air dan tidak stabil pada oksigen, cahaya,
air, dan panas. Golongan ini mempunyai daya antifungi spectrum luas tapi tidak
efektif terhadap Actinomyces dan Nocardia. Golongan ini efektif terhadap
infeksi jamur tipe filamentosa dan yis.(3,4
a. Amfoterisin B merupakan obat pilihan
untuk keratomikosis akibat yis dan Candida. Dapat juga bermanfaat pada infeksi
akibat filamentosa. Dosis pemberian setiap 30 menit untuk 24 jam pertama, 1 jam
untuk 24 jam kedua, dan di tappering off sesuai dengan respon klinis tubuh
pasien terhadap obat. Tersedia secara komersial dan bila diragukan
kestabilannya, bisa dibuat dari preparat perenteral dengan mengencerkannya
dengan akuades. Obat ini juga dianjurkan untuk keratitis filamentosa kausa
jamur tipe Aspergillus sp.
b. Natamycin (paramycin) bersifat
spektrum-luas terhadap organisme filamentosa seperti polyene lain, tetapi
dilaporkan lebih efektif terhadap Fusarium sp. Pengobatan topical hendaklah
diberikan selama 6 minggu(8,9)
2. Azole (imidazole dan triazole)
termasuk ketaconazole, miconazole, fluconazole, itraconazole, econazole, dan
klotrimazole.2 Golongan Imidazol, dan ketokonazole dilaporkan efektif terhadap
Aspergillus, Fusarium, dan Candida.1,3 Tersedia secara komersial dalam bentuk
tablet.1 Ketoconazole oral (200-600 mg/hari) dapat dipertimbangkan sebagai
terapi adjuntiva pada keratomikosis filamentosa berat, dan fluconazole oral
(200-400 mg/hari) untuk keratitis yeast berat. Itraconazole oral (200 mg/hari)
mempunyai kesan spektrum-luas terhadap semua Aspergillus sp dan Candida tetapi
kerja yang bervariasi terhadap Fusarium. Voriconazole oral dan topical
dilaporkan bermanfaat untuk keratomikosis yang tidak berespon terhadap pengobatan
yang telah disebutkan sebelumnya.(
(8,9)
a. Azole menghambat sintesa ergosterol
pada konsentrasi rendah dan pada konsentrasi tinggi bekerja merusak dinding
sel.
b. Fluconazole dan ketoconazole oral di
absorbsi secara sistemik dan terdapat dalam kadar yang bagus di bilik mata
depan dan kornea, maka pemberiannya harus dipertimbangkan sebagai penanganan
keratomikosis yang lebih lanjut. Karena kedua obat tersebut dapat berpenetrasi
dengan baik ke dalam jaringan okuler, ia merupakan pilihan pengobatan bagi
keratitis kausa filamentosa dan yis. Pemberian obat tersebut juga melihat
kepada kedalaman penetrasi jamur ke dalam stroma. Dosis dewasa 200-400 mg/d,
dengan dosis maksimum 800 mg/d. Antimikotik sistemik diberikan pada kasus
keratitis berat atau endoftalmitis. Apabila terjadi perburukan atau semakin
bertambahnya infeksi pada kornea walaupun terlah mendapatkan pengobatan anti
fungi yang maksimum maka perlu di lakukan operasi. Operasi dilakukan tergantung
dari keadaan saat itu, luas lesi dan tingkat kerusakan dari kornea. Ada
beberapa jenis operasi, yang antara lain ; (8,9)
§ Corneal Scrapping.
Dilakukan
pada ulkus superficial, dimana pada ulkus tersebut dapat ditangani dengan
menggunakan metode ini, dimana penyembuhannya cepat dan tidak menimbulkan scar.
§ Keratectomy.
Teknik ini dilakukan apabila ulkusnya lebih dalam atau deep injury dimana kerusakan kornea menimbulkan terbentuknya jaringan ikat sehingga menimbulkan kekeruhan pada kornea, dimana akan menghalangi cahaya yang menuju ke retina. Operasi dilakukan dengan cara membelah kornea untuk menggapai area yang mengalami scar kemudian membersihkan daerah yang opak dan daerah yang mengalami infeksi dengan menggunakan mikroskop.
Teknik ini dilakukan apabila ulkusnya lebih dalam atau deep injury dimana kerusakan kornea menimbulkan terbentuknya jaringan ikat sehingga menimbulkan kekeruhan pada kornea, dimana akan menghalangi cahaya yang menuju ke retina. Operasi dilakukan dengan cara membelah kornea untuk menggapai area yang mengalami scar kemudian membersihkan daerah yang opak dan daerah yang mengalami infeksi dengan menggunakan mikroskop.
§ Cornea transpalant (penetrating
keratoplasty).
Apabila
infeksi menyebabkan kornea tidak dapat diperbaiki lagi, dimana telah terjadi
kekeruhan maka tindakan keratoplasty dapat dilakukan, dimana operasi dilakukan
dengan mengangkat bagian sentral dari kornea yang keruh kemudian menggantinya
dengan donated clear cornea. Sebuah penelitian di China menunjukkan dari 108
kasus dengan severe keratomycosis,sekitar 86 pasien (79,6%) yang mendapatkan
kornea graft memiliki kornea yang jernih setelah dilakukan follow up dalam 6 –
24 bulan, tidak terdapat rekurensi dari fungal keratitis dan visus pasien
didapatkan antara 40/200 – 20/20 dan dari penelitian tersebut muncul beberapa
komplikasi yang antara lain :
§ Rekurensi fungal keratitis 8 mata
(7,4 %)
§ Cornea graft rejection pada 32 mata
(29, 6%)
§ Glaukoma sekunder pada 2 mata (1,9%)
§ Katarak pada 5 mata (4,6%)
Dari
penelitian tersebut dapat kita simpulkan bahwa keratoplasty merupakan terapi
efektif untuk fungal keratitis yang tidak berespon pada pengobatan anti jamur
dan sebaiknya operasi ini dilakukan di awal sebelum penyakit menjadi lebih
buruk.
Pengobatan pada ulkus kornea bertujuan
menghalangi hidupnya bakteri dengan antibiotika, dan mengurangi reaksi radang
dengan steroid.(9)
Sampai saat ini pengobatan dengan
steroid masih kontroversi. Secara umum ulkus kornea diobati sebagai berikut:11
a.
Tidak
boleh dibebat, karena akan menaikkan suhu sehingga akan berfungsi sebagai
inkubator
b.
Sekret
yang terbentuk dibersihkan 4 kali sehari
c.
Diperhatikan
kemungkinan terjadinya glaukoma sekunder
d.
Debridemen
sangat membantu penyembuhan
e.
Diberi
antibiotika yang sesuai dengan kausa. Biasanya diberi lokal kecuali keadaan
berat.
Terapi keratitits fungal sangat sulit.
Kebanyakan obat antifungi hanya bersifat fungistatik dan memerlukan sistem imun
yang utuh (yang tidak nampak) dan memperpanjang perjalanan terapi. Tanpa
bantuan imunitas yang utuh untuk menekan organisme, pengobatan fungistatik
menjadi kurang efektif. Kelas obat yang digunakan untuk pengobatan keratitis
jamur termasuk antibiotik polyene (nistatin, amphoterecin B, natamycin); analog
pyrimidine (flucytosine); imidazole (clortrimazole, miconozole, econazole,
ketoconazole); triazoles (fluconazole, itraconazole); dan sulfadiazine.
Natamycin hanya dapat diberikan secara topical; obat lain dapat diberikan dari
bermacam jalur yang ada. Steroid kontraindikasi karena akan terjadi eksaserbasi
penyakit.(3)
Natamycin 3% direkomendasikan untuk
terapi pada kebanyakan kasus keratitis fungal filamentaous, terutama yang
disebabkan oleh fusarium spp, agen penyebab yang paling umum pada keratitis
fungi eksogen yang terdapat di area lembab di Amerika Selatan. Mikonazole
topikal 1% (10 mg/ml) merupakan obat terpilih memberantas Paecilomyces
lilacinum. Kebanyakan klinisi dan bukti penelitian menyarankan amphotericin
B (0,15%-0,3%) sangat berkhasiat pada pengobatan keratitis yang disebabkan oleh
fungal tipe yeast. Ketokonazole oral (200-600 mg/hari) bisa digunakan untuk
tambahan terapi pada beberapa keratitis fungal tipe filamentous, dan
fluconazole (200-400mg/ hari) untuk beberapa keratitis fungal tipe yeast.11
Atropin 1% atau scopolamine 0,25% dapat
digunakan untuk mencegah perlengketan antara iris dan lensa atau kornea.
Pemberian kortikosteroid masih kontroversi karena merupakan kontra indikasi
pada infeksi virus, tapi ini dapat mencegah terjadinya perforasi kornea.
Penggunaan kortikosteroid harus dikurangi secara bertahap untuk mencegah
rebound inflamasi. Obat analgetik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri.(4,6)
Terapi konservatif berupa hospitalisasi
direkomendasikan sebagai terapi awal ketika memulai terapi sebagai terapi
jangka panjang tak teratur. Terapi sistemik hanya diindikasikan pada kasus yang
melibatkan intraokular. Pada kasus lain akan berespon baik dengan terapi
topikal antifungi seperti natamycin, nystatin, dan amphotericin B. Terapi
pembedahan. Keratoplasti diindikasikan ketika kerusakannya gagal berespon atau
pada terapi konservatif respon sangat lambat dan pada terapi keadaan menjadi
lebih buruk.(5)
1.
Debridement.
2.
Flap
konjungtiva, partial atau total.
3.
Keratoplasti
tembus.
Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya
terapi; kriteria penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan (blunting
atau rounding-up) dari lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi
satelit dan berkurangnya infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar
tepi ulkus. Perbaikan klinik biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus.
Adanya defek epitel yang sulit menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi
tidak berhasil, bahkan kadang-kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan.
Jadi pada terapi keratomikosis diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian
dari kita semua.11
Langganan:
Postingan (Atom)