I. PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN)
merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis yang ditandai dengan
proteinuria masif (≥ 3 – 3,5 g/hari atau rasio protein kreatinin pada urin
sewaktu > 300-350 mg/mmol), hipoalbuminemia (<25 g="" hiperkolesterolemia="" kolesterol="" l="" total=""> 10 mmol/L), dan manifestasi klinis
edema periferal. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis
tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. 25>
SN dapat terjadi pada
semua usia, dengan perbandingan pria dan wanita 1:1 pada orang dewasa. SN
terbagi menjadi SN primer yang tidak diketahui kausanya dan SN sekunder yang
dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit sistemik, metabolik, obat-obatan, dan
lain-lain.
Proteinuria masif
merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar albumin
serum rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga
berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada
SN.Hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan lipiduria, gangguan keseimbangan
nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta
hormon tiroid sering dijumpai pada SN.Umumnya pada SN fungsi ginjal normal
kecuali pada sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap
akhir. Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respon
yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lagi dapat berkembang
menjadi kronik.
II. ETIOLOGI
Sindrom nefrotik dapat
disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi,
keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau
toksin, dan akibat penyakit sistemik.
Klasifikasi dan
penyebab sindrom nefrotik didasarkan pada penyebab primer ( gangguan glomerular
karena umur), dan sekunder (penyebab sindrome nefrotik).
a. Penyebab
Primer
Umumnya tidak diketahui
kausnya dan terdiri atas sindrome nefrotik idiopatik (SNI) atau yang sering
disebut juga SN primer yang bila berdasarkan gambaran dari histopatologinya,
dapat terbagi menjadi ;
1. Sindroma
nefrotik kelainan minimal
2. Nefropati
membranosa
3. Glomerulonephritis
proliferative membranosa
4. Glomerulonephritis
stadium lanjut
b. Penyebab Sekunder
a. Infeksi
: malaria, hepatitis B dan C, GNA pasc infeksi, HIV, sifilis, TB, lepra,
skistosoma
b. Keganasan
: leukemia, Hodgkin’s disease, adenokarsinoma :paru, payudara, colon, myeloma
multiple, karsinoma ginjal
c. Jaringan
penghubung : SLE, artritis rheumatoid, MCTD (mixed connective tissue disease)
d. Metabolik
: Diabetes militus, amylodosis
e. Efek
obat dan toksin : OAINS, preparat emas, penisilinami, probenesid, kaptopril,
heroin
f. Berdasarkan
respon steroid, dibedakan respon terhadap steroid (sindrom nefrotik yang
sensitive terhadap steroid (SNSS) yang lazimnya berupa kelainan minimal, tidak
perlu biopsy), dan resisten steroid atau SNRS yang lazimnya bukan kelainan
minimal dan memerlukan biopsy.
III. EPIDEMIOLOGI
Insidens dapat mengenai
semua umur tetapi sebagian besar (74%) dijumpai pada usia 2-7 tahun. Rasio
laki-laki : perempuan= 2:1, sedangkan pada masa remaja dan dewasa rasio ini
berkisar 1:1. Biasanya 1 dari 4 penderita sindrom nefrotik adalah penderita
dengan usia>60 tahun. Namun secara tepatnya insiden dan prevalensi sindrom
nefrotik pada lansi tidak diketahui karena sering terjadi salah diagnosa
IV. PATOFISIOLOGI
a. Proteinuria
Proteinuria disebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus
( kebocoran glomerulus) yang ditentukan oleh besarnya molekul dan muatan
listrik, dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular).
Proteinuria sebagian berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular)
dahn hanya sebagaian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular).
Perubahan integritas membrane basalis glomerulus menyebabkan peingkatan
permeabilitas glomerulus terhadap perotein plasma dan protein utama yang
dieksresikan dalam urin adalah albumin
b. Hipoalbuminemia
Hipoalbumin disebabka
oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan katabolisme albumin di
ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat ( namun tidak memadai untuk
mengganti kehilagan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal menurun
Peningkatan
permeabilitas glomerulus menyebabkan albuminuria dan hipoalbumineia. Sebagai
akibatnya hipoalbuminemia menurunkan tekanan onkotik plasma koloid, meyebabkan
peningkatan filtrasi transkapiler cairan keluar tubuh dan menigkatkan edema.
c. Hiperlipidemia
Kolesterol serum, VLDL
(very low density lipoprotein), LDL (low density lipoprotein), trigliserida
meningkat sedangkan HDL (high density lipoprotein) dapat meningkat, normal atau
meningkat.Hal ini disebabkan sintesis hipotprotein lipid disintesis oleh
penurunan katabolisme di perifer.Peningkatan albumin serum dan penurunan
tekanan onkotik.
d. Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan
oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C, dan plasminogen activating
factor dalam urin dan meningkatnya factor V, VII, VIII, X, trombosit,
fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta
menurunnya factor zymogen.
V. TANDA
DAN GEJALA
Gejala pertama yang
muncul meliputi anorexia,rasa lemah, urin berbusa (disebabkan oleh konsentrasi
urin yang tinggi). Retensi cairan menyebabkan sesak nafas (efusi pleura),
oligouri, arthralgia, ortostatik hipotensi, dan nyeri abdomen (ascites).
Untuk tanda dan gejala
yang lain timbul akibat komplikasi dari sindromnefrotik.
VI. DIAGNOSA
Diagnose SN dibuat
berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium berupa proteinuria
massif >3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari), hipoalbuminemia <3 akibat="" biopsi="" dan="" dapat="" diagnose="" diperlukan="" dl="" edema="" g="" ginjal.="" ginjal="" hiperkoagulabilitas.="" hiperlipideia="" histopatologi="" jenis="" kelainan="" lipiduria="" menegakkan="" menentukan="" o:p="" pada="" pemeriksaan="" primer="" prognosis="" respon="" seperti="" sn="" tambahan="" terapi="" terhadap="" terjadi="" thrombosis="" untuk="" vena="" venerologi="" yang="">3>
VII. PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Diagnosis sindrom
nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan penunjang berikut:
· Urinalisis
Urinalisis adalah tes
awal diagnosis sindromk nefrotik.Proteinuria berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan
dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat.3+
menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya
3g/dL atau lebih yang masuk dalam nephrotic range.
· Pemeriksaan
sedimen urin
Pemeriksaan sedimen
akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel yang mengandung
butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak hialin dan
torak eritrosit.
· Pengukuran
protein urin
Pengukuran protein urin
dilakukan melalui timed collection atau single spot collection.
Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari jam 7
pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total
protein urin ≤ 150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis.
Single spot collection
lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin > 2g/g, ini
mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g.
· Albumin
serum
-
kualitatif : ++ sampai ++++
- kuantitatif :> 50
mg/kgBB/hari (diperiksa dengan memakai reagen ESBACH)
· Pemeriksaan
serologis untuk infeksi dan kelainan imunologis
· USG
renal
Terdapat tanda-tanda
glomerulonefritis kronik.
· Biopsi
ginjal
Biopsi ginjal
diindikasikan pada anak dengan SN congenital, onset usia> 8 tahun, resisten
steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat manifestasi
nefritik signifikan.Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsy mungkin
diperlukan untuk diagnosis.Penegakan diagnosis patologi penting dilakukan
karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang berbeda.
Penting untuk membedakan minimal-change disease pada dewasa dengan
glomerulosklerosisfokal, karena minimal-change disease memiliki respon yang
lebih baik terhadap steroid.
· Darah:
Pada pemeriksaan kimia
darah dijumpai:2
- Protein total menurun
(N: 6,2-8,1 gm/100ml)
- Albumin menurun
(N:4-5,8 gm/100ml)
- α1 globulin normal
(N: 0,1-0,3 gm/100ml)
- α2 globulin meninggi
(N: 0,4-1 gm/100ml)
- β globulin normal (N:
0,5-0,9 gm/100ml)
- γ globulin normal (N:
0,3-1 gm/100ml)
- rasio
albumin/globulin <1 o:p="">1>
- komplemen C3
normal/rendah (N: 80-120 mg/100ml)
- ureum, kreatinin dan
klirens kreatinin normal.
VIII. PENATALAKSANAAN
Tata laksana sindrom
nefrotik dibedakan atas pengobatan dengan imunosupresif dan atau
imunomodulator, dan pengobatan suportif atau simtomatik. Penatalaksanaan ini
meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab
(pada SN sekunder), mengurangi atau menghilangkan proteinuria, memperbaiki
hipoalbuminemia, serta mencegah dan mengatasi penyulit.
Terapi Kortikosteroid
Nefropati lesi minimal
dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang memberikan respon terapi yang
baik terhadap steroid.Pengobatan dengan kortikosteroid dibedakan antara
pengobatan inisial dan pengobatan relaps.
Regimen penggunaan
kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya pada orang dewasa adalah
prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 – 8minggu diikuti 1
mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4-12 minggu, tapering di 4 bulan
berikutnya.Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24
minggunamun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid
dihentikan.
Respon klinis terhadap
kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi parsial dan
resisten.Dikatakan remisi lengkap jika proteinuria minimal (< 200 mg/24
jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis
lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuria<3 albumin="" g="" hari="" serum="">2,5 g/dl, kolesterol serum <350 4="" atau="" bulan="" dan="" dengan="" dikatakan="" diuresis="" dl="" edema.="" jika="" klinis="" kortikosteroid.="" kurang="" laboratoris="" lancar="" masih="" memperlihatkan="" mg="" o:p="" pengobatan="" perbaikan="" perubahan="" resisten="" setelah="" tidak="">350>3>
Kelompok SNSS dalam
perjalanan penyakit dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu SN non-relaps (30%),
SN relaps jarang (10-20%), SN relaps sering dan SN dependen steroid (40-50%).
Sindrom nefrotik non
relaps ialah penderita yang tidak pernah mengalami relaps setelah mengalami
episode pertama penyakit ini. Sindrom nefrotik relaps jarang ialah anak yang
mengalami relaps kurang dari 2 kali dalam periode 6 bulan atau kurang dari 4
kali dalam periode 12 bulan setelah pengobatan inisial. Sindrom nefrotik relaps
sering ialah penderita yang mengalami relaps >2 kali dalam periode 6 bulan
pertama setelah respons awal atau > 4 kali dalam periode 12 bulan. Sindrom
nefrotik dependen steroid bila dua relaps terjadi berturut-turut pada saat
dosis steroid diturunkan atau dalam waktu 14 hari setelah pengobatan
dihentikan.
Pengobatan SN relaps
sering atau dependen steroid dapat diberikan dengan steroid jangka panjang,
yaitu setelah remisi dengan prednison dosis penuh dilanjutkan dengan steroid
alternating dengan dosis yang diturunkan bertahap sampai dosis terkecil yang
tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kg secara alternating. Dosis
ini disebut sebagai dosis treshold, diberikan minimal selama 3-6 bulan,
kemudian dicoba untuk dihentikan.
Pengobatan lain adalah
menggunakan terapi nonsteroid yaitu:Siklofosfamid, Klorambusil, Siklosporin A,
Levamisol, obat imunosupresif lain, dan ACE inhibitor.Obat-obat ini utamanya
digunakan untuk pasien-pasien yang non-responsif terhadap steroid.
Terapi suportif/simtomatik
Proteinuria
ACE inhibitor
diindikasikan untuk menurunkan tekanan darah sistemik dan glomerular serta
proteinuria. Obat ini mungkin memicu hiperkalemia pada pasien dengan
insufisiensi ginjal moderat sampai berat.Restriksi protein tidak lagi
direkomendasikan karena tidak memberikan progres yang baik.
Edema
Diuretik hanya
diberikan pada edema yang nyata, dan tidak dapat diberikan SN yang disertai
dengan diare, muntah atau hipovolemia, karena pemberian diuretik dapat
memperburuk gejala tersebut.Pada edema sedang atau edema persisten, dapat
diberikan furosemid dengan dosis 1-3 mg/kg per hari.Pemberian spironolakton dapat
ditambahkan bila pemberian furosemid telah lebih dari 1 minggu lamanya, dengan
dosis 1-2 mg/kg per hari.Bila edema menetap dengan pemberian diuretik, dapat
diberikan kombinasi diuretik dengan infus albumin.Pemberian infus albumin
diikuti dengan pemberian furosemid 1-2 mg/kg intravena.Albumin biasanya
diberikan selang sehari untuk menjamin pergeseran cairan ke dalam vaskuler dan
untuk mencegah kelebihan cairan (overload).Penderita yang mendapat infus
albumin harus dimonitor terhadap gangguan napas dan gagal jantung.
Dietetik
Jenis diet yang
direkomendasikan ialah diet seimbang dengan protein dan kalori yang adekuat.
Kebutuhan protein anak ialah 1,5 – 2 g/kg, namun anak-anak dengan proteinuria
persisten yang seringkali mudah mengalami malnutrisi diberikan protein 2 – 2,25
g/kg per hari. Maksimum 30% kalori berasal dari lemak.Karbohidrat diberikan
dalam bentuk kompleks seperti zat tepung dan maltodekstrin.Restriksi garam
tidak perlu dilakukan pada SNSS, namun perlu dilakukan pada SN dengan edema yang
nyata.
Infeksi
Penderita SN sangat
rentan terhadap infeksi, yang paling sering ialah selulitis dan peritonitis.Hal
ini disebabkan karena pengeluaran imunoglobulin G, protein faktor B dan D di
urin, disfungsi sel T, dan kondisi hipoproteinemia itu sendiri.Pemakaian
imunosupresif menambah risiko terjadinya infeksi.Pemeriksaan fisis untuk
mendeteksi adanya infeksi perlu dilakukan.Selulitis umumnya disebabkan oleh
kuman stafilokokus, sedang sepsis dapa SN sering disebabkan oleh kuman Gram
negatif.Peritonitis primer umumnya disebabkan oleh kuman Gram-negatif dan
Streptococcus pneumoniae sehingga perlu diterapi dengan penisilin parenteral
dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ke-tiga, seperti sefotaksim atau
seftriakson selama 10-14 hari. Di Inggris, penderita SN dengan edema anasarka
dan asites masif diberikan antibiotik profilaksis berupa penisilin oral 125 mg
atau 250 mg, dua kali sehari sampai asites berkurang.
Hipertensi
Hipertensi pada SN
dapat ditemukan sejak awal pada 10-15% kasus, atau terjadi sebagai akibat efek
samping steroid.Pengobatan hipertensi pada SN dengan golongan inhibitor enzim
angiotensin konvertase, calcium channel blockers, atau beta adrenergic blockers.
Hipovolemia
Komplikasi hipovolemia
dapat terjadi sebagai akibat pemakaian diuretik yang tidak terkontrol, terutama
pada kasus yang disertai dengan sepsis, diare, dan muntah. Gejala dan tanda
hipovolemia ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan perfusi buruk,
peningkatan kadar urea dan asam urat dalam plasma. Pada beberapa anak memberi
keluhan nyeri abdomen.Hipovalemia diterapi dengan pemberian cairan fisiologis
dan plasma sebanyak 15-20 ml/kg dengan cepat, atau albumin 1 g/kg berat badan.
Tromboemboli
Risiko untuk mengalami
tromboemboli disebabkan oleh karena keadaan hiperkoagulabilitas. Selain
disebabkan oleh penurunan volume intravaskular, keadaan hiperkoagulabilitas ini
dikarenakan juga oleh peningkatan faktor pembekuan darah antara lain faktor V, VII,
VIII, X serta fibrinogen, dan dikarenakan oleh penurunan konsentrasi
antitrombin III yang keluar melalui urin. Risiko terjadinya tromboemboli akan
meningkat pada kadar albumin plasma < 2 g/dL, kadar fibrinogen > 6 g/dL,
atau kadar antitrombin III < 70%. Pada SN dengan risiko tinggi, pencegahan
komplikasi tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian asetosal dosis rendah
dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan bila telah terhadi tromboemboli,
dengan dosis 50 U/kg intravena dan dilanjutkan dengan 100 U/kg tiap 4 jam
secara intravena.
Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada SN
meliputi peningkatan kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan asam lemak.
Kolesterol hampir selalu ditemukan meningkat, namun kadar trigliserida,
fosfolipid tidak selalu meningkat. Peningkatan kadar kolesterol berbanding
terbalik dengan kadar albumin serum dan derajat proteinuria. Keadaan
hiperlipidemia ini disebabkan oleh karena penurunan tekanan onkotik plasma
sebagai akibat dari proteinuria merangsang hepar untuk melakukan sintesis lipid
dan lipoprotein, di samping itu katabolisme lipid pada SN juga menurun.
Hiperlipidemia pada SNSS biasanya bersifat sementara, kadar lipid kembali
normal pada keadaan remisi, sehingga pada keadaan ini cukup dengan pengurangan
diit lemak. Pengaruh hiperlipidemia terhadap morbiditas dan mortalitas akibat
kelainan kardiovaskuler pada anak penderita SN masih belum jelas.Manfaat
pemberian obat-obat penurun lipid seperti kolesteramin, derivat asam fibrat
atau inhibitor HMG-CoA reduktase (statin) masih diperdebatkan.
IX. PROGNOSIS
Sebelum era antibiotik,
infeksi merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada SN.Pengobatan SN
dan komplikasinya saat ini telah menurunkan morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan sindrom.Saat ini, prognosis pasien dengan SN bergantung pada
penyebabnya. Remisi sempurna dapat terjadi dengan atau tanpa pemberian
kortikosteroid.
Hanya sekitar 20 %
pasien dengan glomerulosklerosis fokal mengalami remisi proteinuria, 10 %
lainnya membaik namun tetap proteinuria. Banyak pasien yang mengalami frequent
relaps, menjadi dependen-steroid, atau resisten-steroid. Penyakit ginjal kronik
dapat muncul pada 25-30 % pasien dengan glomerulosklerosis fokal
segmental dalam 5 tahun dan 30-40 % muncul dalam 10 tahun.
Orang dewasa dengan
minimal-change nephropathymemiliki kemungkinan relaps yang sama dengan
anak-anak. Namun, prognosis jangka panjang pada fungsi ginjal sangat baik,
dengan resiko rendah untuk gagal ginjal.2Pemberian kortikosteroid memberi
remisi lengkap pada 67% kasus SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau
parsialpada 50% SN nefropati membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis
fokal segmental.Perlu diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid jangka
lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes
mellitus.
Respon yang kurang
terhadap steroid dapat menandakan luaran yang kurang baik. Prognosis dapat
bertambah buruk disebabkan (1) peningkatan insidens gagal ginjal dan komplikasi
sekunder dari SN, termasuk episode trombotik dan infeksi, atau (2) kondisi
terkait pengobatan, seperti komplikasi infeksi dari pemberian imunosupressive.2Penderita
SN non relaps dan relaps jarang mempunyai prognosis yang baik, sedangkan
penderita relaps sering dan dependen steroid merupakan kasus sulit yang
mempunyai risiko besar untuk memperoleh efek samping steroid. SN resisten
steroid mempunyai prognosis yang paling buruk.
Pada SN sekunder,
prognosis tergantung pada penyakit primer yang menyertainya.Pada nefropati
diabetik, besarnya proteinuria berhubungan langsung tingkat
mortalitas.Biasanya, ada respon yang baik terhadap blockade angiotensin, dengan
penurunan proteinuria, dan level subnefrotik.Jarang terjadi remisi nyata.
Resiko penyakit kardiovaskular meningkat seiring penurunan fungsi ginjal,
beberapa pasienakan membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal
Pada amiloidosis
primer, prognosis tidak baik, bahkan dengan kemoterapi intensif. Pada
amiloidosis sekunder, remisi penyebab utama, seperti rheumatoid arthritis,
diikuti dengan remisi amiloidosis dan ini berhubungan dengan SN.